Melukat Tanpa Busana di Bali: Antara Spiritualitas dan Kontroversi
- wayan yande

- Jul 10
- 2 min read

Bali sebagai pulau spiritual dan penuh tradisi kembali menarik perhatian publik, kali ini karena praktik melukat tanpa busana yang dilakukan di sebuah lokasi khusus di kawasan Bangli. Berita ini menimbulkan berbagai reaksi—dari rasa penasaran, kekaguman terhadap keluhuran tradisi, hingga kontroversi karena menyentuh batasan norma sosial.
Apa Itu Melukat?
Melukat adalah ritual penyucian diri dalam tradisi Hindu Bali, yang bertujuan untuk membersihkan tubuh dan pikiran dari energi negatif. Ritual ini biasanya dilakukan di mata air suci, sungai, atau pura, dengan doa-doa dan prosesi khusus yang dipimpin oleh seorang pemangku atau sulinggih (pendeta).
Melukat bukan hanya tindakan simbolis, melainkan bagian dari kehidupan spiritual masyarakat Bali. Banyak wisatawan maupun umat Hindu dari luar Bali datang untuk mengikuti ritual ini demi penyembuhan batin, menghilangkan “klesa” (kotoran pikiran), dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Lokasi Melukat Tanpa Busana: Tertutup dan Khusus
Salah satu lokasi yang baru-baru ini viral berada di Dusun Suter, Kintamani, Kabupaten Bangli. Tempat ini dikenal sebagai lokasi melukat tanpa busana, yang diperuntukkan hanya bagi pria, dan dilakukan dalam kondisi sangat tertutup serta sakral.
Menurut keterangan warga dan pemangku setempat, tempat ini tidak dibuka untuk umum dan hanya digunakan untuk keperluan spiritual tertentu berdasarkan pawisik (petunjuk spiritual). Proses melukat tanpa pakaian bukan dilakukan sembarangan, melainkan dengan syarat dan tata cara yang sangat ketat. Ritual ini dilakukan tanpa ada unsur pornografi, pertunjukan, atau komersialisasi.
Mengapa Tanpa Busana?
Dalam konteks spiritual Bali, melepaskan pakaian bukanlah tindakan vulgar, melainkan bentuk simbolis dari melepaskan ego, dosa, dan keterikatan duniawi. Tubuh dipandang sebagai sarana penyucian yang kembali pada kesucian asalnya.
Namun, karena dilakukan di luar kebiasaan umum, praktik ini tetap menimbulkan reaksi beragam di masyarakat, terutama dari mereka yang melihatnya di luar konteks spiritual.
Reaksi Publik dan Klarifikasi Tokoh Adat
Setelah berita ini mencuat, banyak warganet mengungkapkan rasa heran dan bahkan kecurigaan bahwa tempat ini disalahgunakan. Namun, tokoh adat dan pemangku lokal telah menegaskan bahwa tempat ini bukan untuk konsumsi wisata, bukan tempat terbuka, dan bukan juga bagian dari atraksi.
Pemangku adat menyatakan, ini adalah bagian dari praktik sakral yang tidak untuk disalahpahami atau dipublikasikan tanpa pemahaman mendalam. Pemerintah daerah dan tokoh spiritual juga telah menghimbau agar masyarakat tidak mengambil gambar atau memviralkan lokasi tersebut demi menjaga kesucian tempat dan mencegah penyalahgunaan informasi.
Pelajaran dari Isu Ini: Menghormati Tradisi
Isu ini menyadarkan kita bahwa tidak semua hal bisa dilihat dari kacamata modern atau sekuler. Bali, dengan spiritualitasnya yang mendalam, memiliki banyak praktik yang terlihat tidak biasa, tetapi memiliki makna luhur di baliknya. Perlu kehati-hatian dalam menyikapi informasi yang berkaitan dengan upacara adat agar tidak menimbulkan salah tafsir atau merusak kehormatan budaya lokal.
Melukat, baik dengan pakaian adat maupun tanpa busana dalam konteks tertentu, tetaplah sebuah ritual suci yang patut dihormati. Bali bukan hanya destinasi wisata, tetapi rumah dari tradisi yang telah hidup selama ratusan tahun. Menghormati budaya Bali berarti memberi ruang bagi praktik-praktik sakralnya untuk tetap lestari, tanpa dijadikan sensasi atau konsumsi publik yang dangkal.




Comments